Senin, 09 Desember 2013

Curhat, 10 Desember 2013

Rasanya "REMIDI"

Ah,, ini menyebalkan.! tau nggak? rasa ketika kamu datang ke sekolah dan yang kau dengar adalah kabar paliiiiiing buruk! hah... susah diungkapkan dengan kata-kata, apalagi diungkapin pake tulisan (pegel... banget). ah... sebeeellll! hari ini, aku remidi inggris, gak tau kenapa.. karena seingat aku nih ya.., jawaban english aku udah lebih dari cukup, yah walau pun diakuin gak akan perfect lah. tapi ternyata..., boro-boro buat dapat nilai perfect, nilai kkm aja kagak. :(

Pokoknya, nggak mau tahu. ini harus jadi remidi pertama dan terakhir! habisnya rasanya diREMIDI itu kagak enak!(pakai BANGET).

Saat remidi, kamu harus ngerjain ulang soal, atau bikin tugas baru buat memenuhi kkm disaat orang lain nyantai-nyantai aja! ah... dukka ah

Cerpen Remaja/@dewinda_f



Hidup, Suatu Ketika…
Hidup. Apalah arti hidup ketika kau tak bisa menikmati kehidupan itu. Hidup. Apalah arti hidup ketika kematian tampak lebih menggiurkan di matamu. Hidup adalah hal yang tak berarti, setidaknya itulah yang dia yakini saat ini.
Tangannya gemetaran, meski aroma anyir mulai tercium olehnya dan disertai darah segar yang terus mengalir dari pergelangan tangan kirinya, ia tetap menggoreskan mata cutter itu pada sebelah tangannya yang lain.
Perih? Apa kau masih memikirkan perih bila rasa sakit di hatimu jauh lebih mengiris daripada segores-dua gores benda tajam di kulitmu? Nyawa? Apa dia masih membutuhkannya? Tidak ada yang peduli ia hidup atau tidak – malah mungkin justru akan banyak yang bersyukur bila ia menghilang.
Ia membiarkan darahnya tetap mengalir. Ujung jari-jari tangannya memucat dan kesemutan tapi ia tak peduli. Benaknya berputar, bila ia mati lantas menghantui sekolah ini, apa ia bisa membalas dendam pada bocah-bocah itu? Menghantui mereka hingga ketakutan, mungkin? Ah, entah kenapa mati terdengar jauh lebih menyenangkan daripada hidup dan menjadi bulan-bulanan para penjilat keparat itu, manusia bertabiat busuk yang berusaha menutupi bau tengik mereka dengan senyuman manis. Menjijikan. Punggungnya perlahan tersandar sepenuhnya ke dinding, tidak mampu menopang beban tubuhnya. Ini dia, sebentar lagi dan ia akan…
Raisa! Berhentilah melakukan hal bodoh ini!”
Seseorang datang. Suaranya familiar. Ia menoleh, berusaha mengenali siapa yang baru saja bicara, tapi pandangan matanya terlalu kabur untuk mengenali apapun kecuali pakaian putih, celana abu-abu, dan dasi yang entah rapi atau tidak. Seseorang menarik lengannya, apa tangan orang itu yang dingin, atau lengannya yang dingin?
Kemudian ia merasa ada ikatan kencang di pergelangan tangannya, orang itu melepaskan cengkeramannya sebelum kembali bicara, “Apa kau masih bisa—”
Terlambat, kegelapan sudah menjemputnya.
♯☻♯
Namanya Raisa. Banyak bicara, kadang cukup ramah –menurutnya–, dan  benci dipuji. Bukannya ia sombong, ia hanya menganggap tak ada sesuatu dalam dirinya yang pantas untuk dipuji. Hasil belajar, prestasi, kemenangan bukan sesuatu yang bisa dipuji, semua orang bisa mencapainya, bila mereka mau, begitu yang diyakini Raisa selama ini. Raisa tidak suka mencari masalah, tapi entah kenapa masalah terus-menerus mencarinya. Mungkin, Aldi termasuk salah satunya.
♯☻♯
 “Hai!”
Ia mengerjap. Langit-langit putih, dinding putih, tirai putih, jendela yang terbuka sedikit. Bau karbol dan antiseptik. Dalam hati Raisa mengumpat, kenapa aku tidak bisa lolos dari tempat ini, lagi?
“Kau kenapa? Apa mereka menjahilimu lagi?” Tanya seseorang yang sekali lagi kembali memergokinya ketika akan meninggalakan dunia ini.
“Jahil? Apakah menampar orang lain, menghinanya setiap waktu, merobek rok seragamnya, dan melemparkan sampah padanya masih termasuk ke dalam kategori jahil? Tsk..” Begitulah yang ada di benak Raisa, tapi mulutnya tetap terkunci rapat, tidak ada sahutan. Aldi, laki-laki yang ada di sampingnya itu beralih menatap Raisa yang seperti biasa, menghindari tatapannya, Raisa tahu bahwa sebentar lagi Aldi akan memulai sebuah kuliah panjang. Raisa sudah hapal, begitu pula dengan Aldi. Setelah keempat kalinya gadis itu ia bawa ke rumah sakit karena alasan yang sama: percobaan bunuh diri, percobaan orang gila, begitulah Aldi menyebutnya.
Raisa mengamati kasa yang menutupi titik-titik luka di sepanjang pergelangan tangannya, mengernyit nyeri ketika rasa sakit yang tajam terasa tiap ia menggerakkan tangan meski sedikit saja. Aldi menangkap perubahan ekspresi Raisa.
 “Tidak bisakah kau berhenti?” Tanya Aldi penuh pengharapan.
Raisa tersenyum miring, “Tidak ada alasan untuk berhenti, dan ada banyak alasan untuk tetap melanjutkannya.”
“Kau melupakanku?”
“Tidak, tapi kau bukan alasan yang cukup,” nada suara Raisa berubah mencela, “Apa gunanya ada satu orang yang peduli bila ada belasan orang lain yang lebih ingin kau lenyap! Lebih ingin kau terpuruk lalu menertawakanmu keras-keras tepat di depan wajahmu? Tidak ada perbedaan yang muncul setelah kau peduli, Aldi! Mereka justru makin mengharapkan hal buruk terjadi padaku!”
Rahang Aldi mengeras, “Berhenti bicara seperti–”
“Itu kenyataan. Kau tidak bisa mengubah kenyataan,” pahit, pahit sekali, “Kau peduli. Kau ada. Kau tahu apa yang selama ini mereka lakukan padaku. Tapi apa perubahan yang kau buat? Adakah? Apa kau berhasil menyuruh mereka berhenti menggunakanku sesuka mereka? Berhenti menghina, berhenti munyiksaku, berhenti menyindir di belakang ku, berhenti bersikap tak tahu malu! Apa kau bisa?” tatapan tajam gadis itu tiba-tiba telah menusuk balik mata Aldi, “Apa kau berhasil meyakinkan mereka bahwa mereka salah? Bahwa memperlakukan seseorang seperti mereka adalah ras terbaik di dunia dan orang lain sepertiku hanya sampah adalah hal yang keliru?”
Aldi tahu persis jawaban untuk setiap pertanyaan Raisa. Tidak. Tidak ada yang berubah. Tatapan mata Raisa yang menusuk dan menyiratkan tantangan membuat Aldi tak nyaman, ia bangkit dan beranjak pergi dari samping tempat tidur Raisa di RS ini.
“Aku peduli dan kau hanya perlu mengingat itu,” kata Aldi sebelum menutup pintu kamar rawat inap Raisa, meninggalkan gadis itu dan lamunan-lamunannya. Raisa tak bereaksi, hanya menatap pintu yang perlahan mengayun tertutup sebelum menggumam, “Dan aku tak pernah memintamu agar peduli padaku, kau tahu? Lebih baik kau berhenti sebelum menyesal.”
♯☻♯
Raisa selalu berharap Aldi tak pernah memergokinya yang tengah sibuk dengan cutter di atap gedung sekolah pada suatu sore. Ia selalu berharap Aldi tak perlu mengenalnya, tak perlu bersikeras mengawasinya sejak lelaki itu menarik paksa bilah tajam cutter dari genggaman tangannya dan membawanya ke rumah sakit untuk pertama kalinya. Mungkin, Aldi hanya ingin Raisa tahu bahwa ia berharga, setidaknya bagi Aldi. Tapi menurut Raisa, hanya berharga bagi Aldi bukan masalah yang lebih penting daripada menghilang dari dunia ini secepatnya.
♯☻♯
Sore ini, setelah ia telah keluar dari rumah sakit, Raisa kembali duduk termenung di atap gedung sekolahnya. Satu per satu kenangan buruknya selama ini kembali terbayang di benaknya. Ketika anak-anak sekolah tahu siapa ibunya yang sebenarnya, ketika mereka mulai menghina dan melampiaskan kebencian mereka kepada dirinya dan ketika mereka melontarkan kata-kata kotor padanya meski itu di hadapan para guru sekali pun. Rasa kebencian itu semakin terasa sesak dan tak terasa air matanya mengalir tanpa bisa ia cegah.
Sayatan pertama. Raisa tahu persis titik mana di pergelangan tangannya yang berdenyut paling kuat.
Bukan salah Raisa kalau ia suka merendah dan mengalah. Bukan. Ia menekankan mata pisau makin dalam, dalam, dalam, berusaha menghilangkan rasa nyeri yang timbul di dadanya ketika kata-kata sialan itu terulang lagi di benaknya. Kau menjijikan! Dasar anak pelacur jalang! Apa kau juga membayar para guru dengan tubuhmu agar mereka mau memberimu nilai yang bagus? Ah, apa Kau juga telah memberikan tubuh kotor ini pada Aldi?
Pening, Raisa tidak pernah merasa merasakan pening sehebat ini sebelumnya. Ia memejamkan mata tepat ketika ia mendengar suara langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa di tangga menuju atap gedung sekolah ini.
“Raisa!”
Seseorang datang. Suaranya familiar. Ia menoleh, berusaha mengenali siapa yang baru saja bicara, tapi pandangan matanya terlalu kabur dan kegelapan menjemputnya lagi. Namun, kali ini Raisa yakin ia tak akan pernah kembali.
♯☻♯

Kamis, 21 November 2013

Drama Sisindiran Sunda

Nyi Iteung Pegat Tali Asih
Ariansyah F. : Ujang
Dede Winda : Neng Onah
Elia              : Nyi Iteung
M.Fauzan     : Abah
Sandi S.       : Kabayan
Yuliana        : Ema
 
Sampurasun…

Ka Mang Oman dititah ku uwa
Ngan hanjakal eweuh mang Omanna
Tepangkeun ieu kelompok dua
Anu garaya eweuh tandingna

Aya budak mani beresih
Cicingna teh di Sukadana
Nyi Iteung pegat tali asih
Eta pisan judul sindirna

Ngala cai dina kendi
Pas tepi eweuh caian
Kenalkeun simkuring sandi
Nu merankeun si kabayan

Ka ciamis meli koya
Papanggih jeung balarea
Nepangkeun wasta elia
Jadi iteung nu kasohor tea

Sasih ayeuna musim hujan
Caina teh loba nu mubah
Tepangkeun simkuring fauzan
Nu merankeun palaku abah

Loba nyeri loba tugenah
Nyerina teh kabina bina
Tepangkeun simkuring neng onah
Balad iteung nu pang bageurna

Ka pasar rek meli cai
Aya lutung dahar gedang
Tepangkeun simkuring ari
Nu kasep ti karanggedang

Make sarung teu di calana
Iinditan mekah madinah
Nepangkeun wasta yuliana
Janteun ema bojona abah

“Sumangga atuh regepkeun Aa, Teteh, sisindiran bade dikawitan”

            Kacaturkeun di hiji poe, Nyi Iteung keur ngahuleng di sisi balong bari ngoprek cai. Lantaran honcewang ka budakna nu  hiji-hijina, Ema jeung Abah Iteung nyampeurkeun tuluy nanya ka Iteung.
Ema                 : ka Cimaragas meuli buleng
                          Nu dagangna meuni kuuleun
                          Ku naon Iteung hulang huleng?
                          Mani siga domba jualeun

Iteung              : ka warung meuli obat puyeng
                          Aya combro anu gaaleun
                          Atuh wajar Iteung ngahuleng
                          Da kabayan pikasebeleun

Abah               : Pangandaran Pamarican
                          Rea pisan tatangkalan
                          Kunaon kitu Kabayan?
                          Ku Abah cuang paehan

Iteung              : ka pasar meuli pakean
                          Ka warung meuli manisan
                          Ih Abah tong dipaehan
                          Da Iteung teh bogoh pisan

            Keur kitu jol Kabayan jeung babaturanna, sarta neng Onah nu mangrupakeun sobat daleutna Iteung, aranjeunna bade nepangan Nyi Iteung.
Kabayan          :”Assalamualaikum”
                         Di Pangandaran loba kumang
                         Loba bule anu harideung
                         Kumaha abah ema daramang?
                         Kuring datang rek nepangan iteng

Ema                 ka kebon mamawa rantang
                        Kebona karasa keueung
                        Tah geuning kabayan datang
                        Ema melang ka si iteung

 Abah               ngajang ka imah bi oon
                        Di jalan loba nu melong
                        Maneh teh migawe naon?
                        Iteung ceurik sisi balong
Ujang               dahar nangka anu atah
                        Tungtung na teh nyeri beuteung
                        Tah abah kang kabayan tah
                        Tadi geus megatkeun iteung

Neng onah       mawa sangu ngan sakeupeul
                        Indit na poe salasa      
                        Tah abah kabayan teungeul
                        Pek mangga tong asa asa

Kabayan          indit bareng ka sakola
                        Di jalan manggih pala
                        Keheula abah keheula
                        Kabayan rek ngomong heula

Abah                indit ka pasar jeung mamah
                        Aya nu gelo nuturkeun
                        Sok atuh arek ngomong mah
                        Kapaksa cuang dengekeun

Neng onah       aya jalma  nu ker moyan
                        Awak na nepi ka ngebul
                        Lah gandeng maneh kabayan
                        Maneh mah raja na debul
                       

Ujang               moro bagong make panah
                        Loba sato nu araneh
                        Maneh nu tong gandeng onah
                        Da lain urusan maneh

Neng onah       Ka citanduy ngala hurang
                        Ngala hurang jeung parawan
                        Keun bae kumaha urang
                        Montong sok kalah ngalawan

Ema                 Si icih keur nyeuseuh hordeng
                        Beungeutna kacida sangar
                        Garandeng maneh garandeng
                        Tong kalah nambahan jangar


Kabayan          Mang sumanto keur nyeurieun beuteung
                        Saeunggeus dahar di si Adrian
                        Lain kuring teu bogoh ka iteung
                        Ngan kuring teh rek fokus ujian

Ujang               Si Fauzan keur nganterkeun
                        Awewena alus pisan
                        Tah gening abah dangukeun
                        Pegat teh jang ka alusan

Abah                Di cirahong meuni keueung
                        Kusabab loba jurigan
                        Ih dasar maneh teh iteung
                        Pan maneh ge rek ujian

Iteung              Aya beurit dina para
                        Di uudag ku si tata
                        Hampura abah hampura
                        Iteung teh teu mikir eta

Neng onah       :”Tah rengse atuhnya masalah teh? Intina mah Teung:”
                          Si Cila kabogoh Fauzan
                          Hanjakal kalah pepegatan
                          Mun bogoh tong kamalinaan
                          Ayeuna mah fokus ujian
            Sakitu sisindiran anu kapihatur ti kelompok dua,
Obat leho make insana
Meulina di neng Yuliana
Hatur nuhun kana perhatosanna
Punten kana kalepatanna

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jumat, 01 November 2013

Berguru pada "PELANGI"



Berguru Pada Pelangi

          Di dunia ini, apakah salah jika saya dan diri Anda ternyata tidak memilki kepribadian yang sama? Apakah salah jika seorang anak tak memiliki kemampuan yang sama seperti orang tuanya? Apakah salah jika seseorang dengan orang yang lainnya memiliki kebiasaan berbeda meski mereka berada di tempat yang sama dan dinaungi oleh langit yang sama pula? Rasanya tidak. Justru tanpa adanya pertanyaan-pertanyaan itu pun, kita pasti sudah mengetahui bahwa kita semua tidak bisa menjadi orang yang benar-benar sama dalam segala aspek, sehingga kita harus berusaha memahami perbedaan itu sebagai harmonisasi dalam kehidupan, bukannya justru menjadi pemicu menuju perselisihan. Seharusnya kita mengerti bahwa saya dengan diri Anda, atau pun Anda dengan mereka sampai kapan pun meski berusaha dengan cara apa pun tetap saja tak akan bisa menjadi orang yang benar-benar sama, oleh karena itu tak ada salahnya untuk mencoba hidup harmonis di tengah perbedaan.
          Kata “harmonis” memiliki dua jenis pengertian, yaitu pengertian harmonis secara etimologis dan secara terminologis. Secara etimologis harmonis berarti selaras atau serasi. Sedangkan pengertian harmonis secara terminologis yaitu suatu kondisi yang saling selaras satu sama lain. Secara konseptual, semua rakyat Indonesia seharusnya mampu bersikap harmonis meski kita merupakan bangsa yang majemuk atau bangsa multikultural, karena harmonisasi kehidupan ada kaitannya dengan penjabaran sila ketiga dari pancasila yang merupakan ideologi nasional sekaligus kepribadian bangsa, yaitu sila “persatuan Indonesia”. Namun, jika kita perhatikan dengan saksama, atau menatap dengan sebelah mata sekali pun, kita bisa melihat dengan jelas bahwa kehidupan yang harmonis di tengah kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, belumlah terrealisasikan dengan sempurna. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kriminalitas di dalam negeri yang didasari oleh rendahnya sifat toleransi dan keselarasan antar suku, antar agama, antar kebudayaan mau pun antar daerah.
            Salah satu kasus yang terjadi karena rendahnya kadar harmonisasi masyarakat Indonesia diantaranya adalah kasus tawuran yang terjadi di Jalan I Gusti Ngurah Rai, tepatnya di sekitar kawasan Kebon Singkong, Klender, Duren Sawit, Senin (12/8/2013).
Dalam tawuran ini, warga dari kubu Kelurahan Cipinang Pulogadung menyerang warga Kebon Singkong. Aksi lempar batu mewarnai bentrok antar warga tersebut. Beberapa warga juga terlihat membawa senjata tajam seperti samurai. Tawuran ini disinyalir berawal karena adanya perbedaan persepsi di antara kedua belah pihak. Konflik yang ditimbulkan karena pertikaian antar masyarakat Indonesia ini, cukup untuk membuat kita semua khawatir mengenai masa depan Negara Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan beragam kebudayaan. Kalau bentrokan yang terkadang mengatasnamakan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) tetap terjadi atau justru frekuensi kejadiannya semakin sering, maka jurang keharmonisan dan keutuhan bangsa secara tidak langsung akan dipertaruhkan. Apalagi kalau kita melihat catatan sejarah, ternyata bentrokan antar adat, antar suku atau pun antar agama telah terjadi sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Misalnya saja konflik Maluku dan Maluku Utara yang telah berlangsung dalam kurun waktu tahun 1999 sampai 2002. Akibat kerusuhan ini, sekitar 8 ribu sampai 9 ribu korban meninggal dunia dan 700.000 warga lainnya mengungsi. Konflik di Maluku Utara yang berlangsung selama 4 tahun dan  mencakup luasan sampai tingkat propinsi itu terjadi karena adanya pertikaian antara kelompok-kelompok etnis yang berkaitan dengan kepentingan sumber daya di wilayah pertambangan Malifut dan pertarungan elit kekuasaan di tingkat lokal. Selain itu, konflik besar yang beberapa waktu lalu sontak diberitakan oleh insan media yaitu Konflik Lampung Selatan, konflik ini menewaskan 14 orang, belasan lainnya luka parah dan 1.700 warga mengungsi. Cakupan luas konflik meliputi dua kecamatan, yakni Kali Anda dan Way Panji dengan lama konflik mencapai tiga hari, dari tanggal 27 hingga 29 Oktober 2012. Akibat konflik ini, total kerugian mencapai Rp24,88 miliar. Konflik Lampung Selatan ini, berawal dari ketimpangan dalam penguasaan akses ekonomi antara kelompok masyarakat setempat yang beretnis Lampung dengan kelompok masyarakat pendatang yang beretnis Bali.
            Untuk setiap pertikaian yang telah terjadi ini, atas nama orang-orang yang telah menjadi korban jiwa dalam berbagai konflik, dan bagi orang-orang yang harus menanggung beban penderitaan secara moril atau pun materil karena konflik berbau SARA ini, siapakah pihak yang harus kita salahkan? Apakah ada orang yang mau bertanggung jawab atas semua kerusakan, kerugian dan kehilangan teramat dalam yang mereka rasakan?
            Konflik antar suku, antar agama, antar kebudayaan mau pun antar daerah adalah konflik yang cenderung akan tetap ada di Indonesia yang memang multikultural. Konflik tersebut terjadi seperti suatu siklus yang berkepanjangan dan terus berulang.  Siklus yang diawali dengan adanya persilihan, beranjak menuju pertikaian dan bentrokan antar kubu yang berselisih, kemudian ada korban jiwa sekaligus kerugian materil yang besar karena bentrokan tersebut, terciptalah rasa penyesalan bagi berbagai pihak dan setelah beberapa waktu berlalu, perselisihan itu akan muncul kembali di tempat yang sama atau pun tidak. Hal yang paling miris dari semuanya adalah fakta bahwa pertikaian dan bentrokan ini terjadi masih di antara warga Negara Indonesia sendiri. Ini begitu menakutkan, ketika membayangkan bahwa negeriku dirusak oleh bangsaku, dan bangsa Indonesia disakiti oleh bangsa Indonesia pula. Yang paling disesalkan ialah karena semua pertikaian itu disebabkan adanya pluralistis dalam bangsa Indonesia. Padahal, kalau kita bisa berpikir realistis dan bersikap bijaksana dalam menghadapi semua perbedaan yanga ada, maka kemungkinan terjadinya kehancuran bangsa Indonesia yang selama ini kita takutkan tidak akan terjadi. Karena perbedaan hakikatnya tak harus menjadi pemicu pertiaian sekaligus jurang kehancuran di antara kita, bangsa Indonesia.
          Perbedaan suku, agama, ras atau pun perbedaan adat di satu tempat dengan tempat yang lainnya pastilah sudah sering kita temukan. Namun, semua perbedaan itu tak pantas dijadikan suatu alasan bagi kita untuk saling membenci. Negara indonesia yang harmonis, semua lapisan masyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia pastilah menginginkan hal tersebut tak sekedar menjadi angan-angan saja. Negara Indonesia memang Negara yang besar serta Negara yang senantiasa dikagumi Negara lain karena kemajemukan suku bangsanya. Ada suku Aceh, suku Batak, suku Baduy, suku Sunda, suku Dayak dan masih banyak lagi. Namun, kemajemukan ini ternyata tak bisa selamanya dianggap sebagai hal yang mengagumkan. Seiring berjalannya waktu, percikan-percikan api perselisihan antar kepentingan yang berbeda-beda dari beragam suku bangsa di Indonesia mulai membuat kita khawatir dan kemudian mulai mempertanyakan peranan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi semboyan kita selama berpuluh-puluh tahun untuk mempertahankan kedaulatan dan keharmonisan bangsa Indonesia.
          Dewasa ini, telah banyak orang-orang yang menyuarakan tentang pentingnya hidup harmonis di tengah perbedaan, tetapi di sisi lain, pertikaian atau pun bentrokan antar warga di Indonesia masih saja terjadi. Bahkan pelakunya tidak hanya golongan pemuda dan orang tua saja, melainkan semakin meluas sampai ke para remaja usia SMA dan SMP. Melihat situasi yang semakin memburuk ini, maka wajar saja jika kita subagai subjek dalam kehidupan bernegara mulai berusaha untuk menanamkan tentang betapa pentingya arti sebuah keharmonisan untuk negara kita.
          Banyak orang yang beranggapan bahwa ketika ada perbedaan sikap individu dengan kebiasaan umum masyarakat, maka hal tersebut adalah suatu kesalahan atau pun penyimpangan. Kita boleh saja memercayai teori tersebut, tapi hal itu pun hanya pada konteks tertentu saja, karena tak selamanya perbedaan merupakan keganjilan. Ada kalanya kita harus memahami semua perbedaan yang kita lihat dengan persepsi yang bijaksana, bukan dengan pandangan sebelah mata saja. Kita terlahir sebagai salah satu bangsa yang multikultural, tak bisakah kita tetap menjaga keberagaman ini sebagai suatu anugerah yang indah? Mungkin hal ini tidaklah mudah, namun hal ini pun tidaklah sulit jika kita benar-benar berniat untuk merealisasikannya. Mari kita mengambil suatu perumpamaan yang mudah, ada sekelompok orang yang sangat menyukai pohon kelapa dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Mereka menganggap bahwa pohon kelapa merupakan pohon yang paling sempurna karena buah, air kelapa, daun kelapa, batang atau bahkan akarnya pun bisa mereka manfaatkan dengan baik. Mereka boleh saja menjadi para pecinta pohon kelapa, tapi mereka tak boleh memaksakan kehendak mereka untuk membuat semua tanaman yang ada di Negara Indonesia hanyalah jenis pohon kelapa saja, karena tak selamanya yang mereka butuhkan hanya pohon kelapa kan? Atau mari kita mengambil perumpamaan lain, ada seseorang yang mendapat sebuah pertanyaan tentang bagian tubuh yang paling penting bagi dirinya, misalnya saja dia menjawab jantung, karena selama ada detak jantung berarti dia masih hidup. Setelah itu, orang tersebut ditanya lagi tentang bagian manakah dari tubuhnya yang paling dia tidak suka, dan orang tersebut menjawab usus karena dia beranggapan bahwa usus itu menjjikan. Dia pun mendapatkan pertanyaan lagi, apakah kamu mau menghilangkan usus yang menurutmu menjijikan itu? Orang tersebut hanya terkekeh dan berkata, “ah tak perlu sampai seperti itu karena usus pun masih merupakan bagian dari diriku yang berharga”. Dari perumpamaan-perumpamaan ini, kita bisa merenung bahwa perbedaan itu pastilah ada. Entah itu perbedaan minat, persepsi, hobi, kebiasaan, mata pencaharian,  atau pun perbedaan agama, ras, adat dan suku antara Anda dengan yang lainnya. Namun, kita harus meyakini bahwa setiap perbedaan yang ada bukanlah suatu kesalahan yang harus dimusnahkan dan kita musuhi. Sama seperti sikap sekelompok orang yang sangat menyukai pohon kelapa di atas, kita anggap saja pohon kelapa tersebut sebagai salah satu etnis di suatu daerah, meski mereka menganggap etnis tersebut sebagai etnis yang paling sempurna dibandingkan etnis yang lainnya, mereka harus menyadari bahwa mereka tak mempunyai hak untuk membuat etnis orang lain sama seperti etnisnya. Atau pun perumpamaan ketika seseorang ditanya tentang menghilangkan usus yang menurutnya menjijikan, ia menjawab tak mau. Karena dia menyadari bahwa meski berbeda dari bagian yang menurutnya paling penting, tetap saja bagian yang berbeda tersebut memiliki peranan tersendiri, manfaat tersendiri dan tetaplah bagian dari dirinya. Sama halnya dengan suku bangsa di Indonesia, mereka sangat beragam dan memiliki peranan tersendiri, kebudayaan tersendiri dan juga kepercayaannya sendiri, namun mereka sama, sama-sama bangsa Indonesia.
          Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi Negara yang sangat indah jika saja masyarakat di dalamnya mau bersikap harmonis satu sama lain, meski pun masyarakat tersebut berlatar belakang dari budaya yang beragam. Negara ini akan menjadi Negara yang damai, seandainya masyarakat di dalamnya bisa hidup harmonis walau pun berada di tengah perbedaan, tak membedakan mana si kaya dan si miskin, juga tak mempersalahkan perbedaan antara suku batak atau pun dayak, orang islami atau pun kristiani, orang papua atau pun orang jawa, serta perbedaan antara adat bali atau pun betawi. Ketika kita semua bisa hidup harmonis di tengah perbedaan, maka hal tersebut pasti akan menjadi hal yang indah dan membahagiakan semua pihak.
          Dengan hidup harmonis kita bisa menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita bisa merasakan indahnya perdamaian, kita juga bisa menikmati rasa kebahagian yang menentramkan hati ketika kita saling berbagi senyuman tanpa kemunafikan, ketika kita saling mendukung satu sama lain tanpa mengharapkan imbalan, ketika kita bisa hidup berdampingan meskipun kita satu sama lain adalah orang yang berbeda.
          Sebenarnya ada banyak cara yang bisa kita lakukan agar bangsa Indonesia bisa hidup harmonis di tengah perbedaan. Hal pertama yang cukup mudah untuk kita lakukan ialah menanamkan rasa toleransi yang tinggi terhadap orang lain, meski orang tersebut memiliki agama yang berbeda dengan kita, suku yang berbeda dengan kita, dan kebudayaan yang berbeda pula dengan kita. Agar toleransi ini bisa terwujud, kita harus menghindari sifat primordialisme, yaitu sikap yang menganggap bahwa golongannya adalah golongan yang paling baik dibandingkan dengan golongan yang lainnya. Cara yang kedua yaitu kita harus senantiasa bersikap bijaksana dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi tanpa terpancing emosi, agar kita mampu hidup berdampingan meski di tengah perbedaan, agar kita bisa bersanding sebagai bangsa Indonesia yang baik, bukannya justru saling bersaing agar menjadi kelompok yang terbaik. Cara yang ketiga yaitu menanamkan serta melaksanakan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara supaya kita mampu mempertahankan sekaligus mewujudkan kembali persatuan bangsa Indonesia yang beberapa tahun ini terus dilanda konflik dan pertikaian. Cara yang keempat ialah kita harus menghindari sikap deskriminatif, yaitu suatu sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Hal kelima yang sebenarnya sangat penting ialah adanya usaha dari berbagai pihak dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa sejak usia dini, sehingga para generasi muda mampu menjadi orang-orang yang bisa kita andalkan dalam menjaga persatuan Indonesia di masa mendatang, poin kelima ini sebenarnya telah dilaksanakan dengan adanya kurikulum pendidikan yang mementingkan pembentukan karakter dalam setiap diri para pelajar di Indonesia.
          Negara Indonesia memang termasuk Negara yang multikultural, artinya terdiri atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang berbeda-beda. Namun seiring perjalanan waktu, semakin sering terjadi berbagai kasus dan konflik kekerasan yang mengatasnamakan etnis, agama, ideologi, dan sebagainya. Kalau konflik-konflik tersebut didiamkan berkepanjangan, maka janganlah heran kalau beberapa tahun ke depan, Indonesia akan terpecah menjadi berbagai kelompok masyarakat yang senantiasa bertikai satu sama lain. Kita semua pasti tak menginginkan hal tersebut terjadi, oleh karena itu kita harus bisa memahami segala perbedaan yang ada di antara setiap lapisan bangsa indonesia secara bijaksana. Keberagaman suku bangsa dan budaya masyarakat Indonesia tidak boleh menjadi alasan untuk suatu pertikaian yang akan berakhir dengan saling menuding, menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, menyakiti, melukai apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain. Jika kita mau saling menghargai dan sama-sama berusaha menerima perbedaan ini sebagai suatu anugerah yang harus kita lindungi dan kita banggakan, suatu saat nanti kita pasti bisa menjadi bangsa Indonesia yang tetap harmonis dan damai meski pun terdiri dari beragam suku bangsa. Ingatlah, pelangi pun terlihat indah karena ia mempunyai susunan warna yang beragam.