Berguru
Pada Pelangi
Di dunia ini, apakah salah jika saya
dan diri Anda ternyata tidak memilki kepribadian
yang sama? Apakah salah jika seorang anak tak memiliki kemampuan yang sama
seperti orang tuanya? Apakah salah jika seseorang dengan orang yang lainnya
memiliki kebiasaan berbeda meski mereka berada di tempat yang sama dan dinaungi
oleh langit yang sama pula? Rasanya tidak. Justru tanpa adanya
pertanyaan-pertanyaan itu pun, kita pasti sudah mengetahui bahwa kita semua
tidak bisa menjadi orang yang benar-benar sama dalam segala aspek, sehingga
kita harus berusaha memahami perbedaan itu sebagai harmonisasi dalam kehidupan,
bukannya justru menjadi pemicu menuju perselisihan. Seharusnya kita mengerti
bahwa saya dengan diri Anda, atau pun Anda dengan mereka sampai kapan pun meski
berusaha dengan cara apa pun tetap saja tak akan bisa menjadi orang yang
benar-benar sama, oleh karena itu tak ada salahnya untuk mencoba hidup harmonis
di tengah perbedaan.
Kata “harmonis” memiliki dua jenis
pengertian, yaitu pengertian harmonis secara etimologis dan secara
terminologis. Secara etimologis harmonis berarti selaras atau serasi. Sedangkan
pengertian harmonis secara terminologis yaitu suatu kondisi yang saling selaras
satu sama lain. Secara konseptual, semua rakyat Indonesia seharusnya mampu
bersikap harmonis meski kita merupakan bangsa yang majemuk atau bangsa
multikultural, karena harmonisasi kehidupan ada kaitannya dengan penjabaran
sila ketiga dari pancasila yang merupakan ideologi nasional sekaligus
kepribadian bangsa, yaitu sila “persatuan Indonesia”. Namun, jika kita perhatikan dengan
saksama, atau menatap dengan sebelah mata sekali pun, kita bisa melihat dengan
jelas bahwa kehidupan yang harmonis di tengah kemajemukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, belumlah terrealisasikan dengan sempurna. Hal ini terbukti dengan
adanya berbagai kriminalitas di dalam negeri yang didasari oleh rendahnya sifat
toleransi dan keselarasan antar suku, antar agama, antar kebudayaan mau pun
antar daerah.
Salah satu kasus yang terjadi karena
rendahnya kadar harmonisasi
masyarakat Indonesia diantaranya adalah kasus tawuran yang terjadi di Jalan I
Gusti Ngurah Rai, tepatnya di sekitar kawasan Kebon Singkong, Klender, Duren
Sawit, Senin (12/8/2013).
Dalam
tawuran ini, warga dari kubu Kelurahan Cipinang Pulogadung menyerang warga
Kebon Singkong. Aksi lempar batu mewarnai bentrok antar warga tersebut. Beberapa
warga juga terlihat membawa senjata tajam seperti samurai. Tawuran ini
disinyalir berawal karena adanya perbedaan persepsi di antara kedua belah
pihak. Konflik yang ditimbulkan karena pertikaian antar masyarakat Indonesia ini,
cukup untuk membuat kita semua khawatir mengenai masa depan Negara Indonesia
yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan beragam kebudayaan. Kalau bentrokan
yang terkadang mengatasnamakan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) tetap
terjadi atau justru frekuensi kejadiannya semakin sering, maka jurang
keharmonisan dan keutuhan bangsa secara tidak langsung akan dipertaruhkan. Apalagi
kalau kita melihat catatan sejarah, ternyata bentrokan antar adat, antar suku
atau pun antar agama telah terjadi sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Misalnya
saja konflik Maluku dan Maluku Utara yang
telah berlangsung dalam kurun waktu tahun 1999 sampai 2002. Akibat
kerusuhan ini, sekitar 8 ribu sampai 9 ribu korban meninggal dunia dan 700.000
warga lainnya mengungsi. Konflik di Maluku Utara yang berlangsung selama 4 tahun dan mencakup luasan sampai tingkat propinsi itu terjadi karena adanya pertikaian antara kelompok-kelompok etnis
yang berkaitan dengan kepentingan sumber daya di wilayah pertambangan Malifut
dan pertarungan elit kekuasaan di tingkat lokal. Selain itu, konflik besar yang
beberapa waktu lalu sontak diberitakan oleh insan media yaitu Konflik Lampung Selatan, konflik
ini menewaskan 14 orang, belasan lainnya luka parah dan 1.700 warga mengungsi.
Cakupan luas konflik meliputi dua kecamatan, yakni Kali Anda dan Way Panji
dengan lama konflik mencapai tiga hari, dari tanggal 27 hingga 29 Oktober 2012.
Akibat konflik ini, total kerugian mencapai Rp24,88 miliar. Konflik Lampung
Selatan ini, berawal dari ketimpangan dalam penguasaan akses ekonomi antara
kelompok masyarakat setempat yang beretnis Lampung dengan kelompok masyarakat
pendatang yang beretnis Bali.
Untuk setiap pertikaian yang telah
terjadi ini, atas nama orang-orang yang telah menjadi korban jiwa dalam
berbagai konflik, dan bagi orang-orang yang harus menanggung beban penderitaan
secara moril atau pun materil karena konflik berbau SARA ini, siapakah pihak yang harus kita salahkan? Apakah ada orang yang
mau bertanggung jawab atas semua kerusakan, kerugian dan kehilangan teramat
dalam yang mereka rasakan?
Konflik antar suku, antar agama,
antar kebudayaan mau pun antar daerah adalah konflik yang cenderung akan tetap ada
di Indonesia yang memang multikultural. Konflik tersebut terjadi seperti suatu
siklus yang berkepanjangan dan terus berulang.
Siklus yang diawali dengan adanya persilihan, beranjak menuju pertikaian
dan bentrokan antar kubu yang berselisih, kemudian ada korban jiwa sekaligus
kerugian materil yang besar karena bentrokan tersebut, terciptalah rasa penyesalan
bagi berbagai pihak dan setelah beberapa waktu berlalu, perselisihan itu akan
muncul kembali di tempat yang sama atau pun tidak. Hal yang paling miris dari
semuanya adalah fakta bahwa pertikaian dan bentrokan ini terjadi masih di
antara warga Negara Indonesia sendiri. Ini begitu menakutkan, ketika
membayangkan bahwa negeriku dirusak oleh bangsaku, dan bangsa Indonesia
disakiti oleh bangsa Indonesia pula. Yang paling disesalkan ialah karena semua
pertikaian itu disebabkan adanya pluralistis dalam bangsa Indonesia. Padahal,
kalau kita bisa berpikir realistis dan bersikap bijaksana dalam menghadapi
semua perbedaan yanga ada, maka kemungkinan terjadinya kehancuran bangsa
Indonesia yang selama ini kita takutkan tidak akan terjadi. Karena perbedaan hakikatnya
tak harus menjadi pemicu pertiaian sekaligus jurang kehancuran di antara kita, bangsa
Indonesia.
Perbedaan suku,
agama, ras atau pun perbedaan adat di satu tempat dengan tempat yang lainnya
pastilah sudah sering kita temukan. Namun, semua perbedaan itu tak pantas
dijadikan suatu alasan bagi kita untuk saling membenci. Negara indonesia yang
harmonis, semua lapisan masyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia
pastilah menginginkan hal tersebut tak sekedar menjadi angan-angan saja. Negara
Indonesia memang Negara yang besar serta Negara yang senantiasa dikagumi Negara
lain karena kemajemukan suku bangsanya. Ada suku Aceh, suku Batak, suku Baduy,
suku Sunda, suku Dayak dan masih banyak lagi. Namun, kemajemukan ini ternyata
tak bisa selamanya dianggap sebagai hal yang mengagumkan. Seiring berjalannya
waktu, percikan-percikan api perselisihan antar kepentingan yang berbeda-beda
dari beragam suku bangsa di Indonesia mulai membuat kita khawatir dan kemudian
mulai mempertanyakan peranan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi
semboyan kita selama berpuluh-puluh tahun untuk mempertahankan kedaulatan dan
keharmonisan bangsa Indonesia.
Dewasa ini,
telah banyak orang-orang yang menyuarakan tentang pentingnya hidup harmonis di
tengah perbedaan, tetapi di sisi lain, pertikaian atau pun bentrokan antar
warga di Indonesia masih saja terjadi. Bahkan pelakunya tidak hanya golongan
pemuda dan orang tua saja, melainkan semakin meluas sampai ke para remaja usia
SMA dan SMP. Melihat situasi yang semakin memburuk ini, maka wajar saja jika
kita subagai subjek dalam
kehidupan bernegara mulai berusaha untuk menanamkan tentang betapa pentingya
arti sebuah keharmonisan untuk negara
kita.
Banyak orang
yang beranggapan bahwa ketika ada perbedaan sikap individu dengan kebiasaan
umum masyarakat, maka hal tersebut adalah suatu kesalahan atau pun penyimpangan.
Kita boleh saja memercayai teori tersebut, tapi hal itu pun hanya pada konteks
tertentu saja, karena tak selamanya perbedaan merupakan keganjilan. Ada kalanya
kita harus memahami semua perbedaan yang kita lihat dengan persepsi yang
bijaksana, bukan dengan pandangan sebelah mata saja. Kita terlahir sebagai
salah satu bangsa yang multikultural, tak bisakah kita tetap menjaga keberagaman
ini sebagai suatu anugerah yang indah? Mungkin hal ini tidaklah mudah, namun
hal ini pun tidaklah sulit jika kita benar-benar berniat untuk
merealisasikannya. Mari kita mengambil suatu perumpamaan yang mudah, ada
sekelompok orang yang sangat menyukai pohon kelapa dibandingkan dengan jenis
tanaman lainnya. Mereka menganggap bahwa pohon kelapa merupakan pohon yang
paling sempurna karena buah, air kelapa, daun kelapa, batang atau bahkan
akarnya pun bisa mereka manfaatkan dengan baik. Mereka boleh saja menjadi para
pecinta pohon kelapa, tapi mereka tak boleh memaksakan kehendak mereka untuk
membuat semua tanaman yang ada di Negara Indonesia hanyalah jenis pohon kelapa
saja, karena tak selamanya yang mereka butuhkan hanya pohon kelapa kan? Atau mari
kita mengambil perumpamaan lain, ada seseorang yang mendapat sebuah pertanyaan
tentang bagian tubuh yang paling penting bagi dirinya, misalnya saja dia
menjawab jantung, karena selama ada detak jantung berarti dia masih hidup.
Setelah itu, orang tersebut ditanya lagi tentang bagian manakah dari tubuhnya
yang paling dia tidak suka, dan orang tersebut menjawab usus karena dia
beranggapan bahwa usus itu menjjikan. Dia pun mendapatkan pertanyaan lagi, apakah
kamu mau menghilangkan usus yang menurutmu menjijikan itu? Orang tersebut hanya
terkekeh dan berkata, “ah tak perlu sampai seperti itu karena usus pun masih
merupakan bagian dari diriku yang berharga”. Dari perumpamaan-perumpamaan ini,
kita bisa merenung bahwa perbedaan itu pastilah ada. Entah itu perbedaan minat,
persepsi, hobi, kebiasaan, mata pencaharian,
atau pun perbedaan agama, ras, adat dan suku antara Anda dengan yang
lainnya. Namun, kita harus meyakini bahwa setiap perbedaan yang ada bukanlah
suatu kesalahan yang harus dimusnahkan dan kita musuhi. Sama seperti sikap
sekelompok orang yang sangat menyukai pohon kelapa di atas, kita anggap saja
pohon kelapa tersebut sebagai salah satu etnis di suatu daerah, meski mereka
menganggap etnis tersebut sebagai etnis yang paling sempurna dibandingkan etnis
yang lainnya, mereka harus menyadari bahwa mereka tak mempunyai hak untuk
membuat etnis orang lain sama seperti etnisnya. Atau pun perumpamaan ketika
seseorang ditanya tentang menghilangkan usus yang menurutnya menjijikan, ia
menjawab tak mau. Karena dia menyadari bahwa meski berbeda dari bagian yang
menurutnya paling penting, tetap saja bagian yang berbeda tersebut memiliki
peranan tersendiri, manfaat tersendiri dan tetaplah bagian dari dirinya. Sama
halnya dengan suku bangsa di Indonesia, mereka sangat beragam dan memiliki
peranan tersendiri, kebudayaan tersendiri dan juga kepercayaannya sendiri,
namun mereka sama, sama-sama bangsa Indonesia.
Negara Kesatuan
Republik Indonesia akan menjadi Negara yang sangat indah jika saja masyarakat
di dalamnya mau bersikap harmonis satu sama lain, meski pun masyarakat tersebut
berlatar belakang dari budaya yang beragam. Negara ini akan menjadi Negara yang
damai, se
andainya masyarakat
di dalamnya bisa hidup harmonis walau pun berada di tengah perbedaan
, tak
membedakan mana si kaya dan si miskin, juga tak mempersalahkan perbedaan antara
suku batak atau pun dayak, orang islami atau pun kristiani, orang papua atau
pun orang jawa, serta perbedaan antara adat bali atau pun betawi. Ketika kita
semua bisa hidup harmonis di tengah perbedaan, maka hal tersebut pasti akan
menjadi hal yang indah dan membahagiakan semua pihak.
Dengan hidup
harmonis kita bisa menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita
bisa merasakan indahnya perdamaian, kita juga bisa menikmati rasa kebahagian
yang menentramkan hati ketika kita saling berbagi senyuman tanpa kemunafikan,
ketika kita saling mendukung satu sama lain tanpa mengharapkan imbalan, ketika
kita bisa hidup berdampingan meskipun kita satu sama lain adalah orang yang
berbeda.
Sebenarnya ada
banyak cara yang bisa kita lakukan agar bangsa Indonesia bisa hidup harmonis di
tengah perbedaan. Hal pertama yang cukup mudah untuk kita lakukan ialah menanamkan
rasa toleransi yang tinggi terhadap orang lain, meski orang tersebut memiliki
agama yang berbeda dengan kita, suku yang berbeda dengan kita, dan kebudayaan
yang berbeda pula dengan kita. Agar toleransi ini bisa terwujud, kita harus
menghindari sifat primordialisme, yaitu sikap yang menganggap bahwa golongannya
adalah golongan yang paling baik dibandingkan dengan golongan yang lainnya. Cara
yang kedua yaitu kita harus senantiasa bersikap bijaksana dalam menyelesaikan
masalah yang kita hadapi tanpa terpancing emosi, agar kita mampu hidup
berdampingan meski di tengah perbedaan, agar kita bisa bersanding sebagai
bangsa Indonesia yang baik, bukannya justru saling bersaing agar menjadi kelompok
yang terbaik. Cara yang ketiga yaitu menanamkan serta melaksanakan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara supaya kita mampu
mempertahankan sekaligus mewujudkan kembali persatuan bangsa Indonesia yang
beberapa tahun ini terus dilanda konflik dan pertikaian. Cara yang keempat
ialah kita harus menghindari sikap deskriminatif, yaitu suatu sikap yang
membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit,
golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Hal kelima yang
sebenarnya sangat penting ialah adanya usaha dari berbagai pihak dalam
pembentukan watak dan kepribadian bangsa sejak usia dini, sehingga para
generasi muda mampu menjadi orang-orang yang bisa kita andalkan dalam menjaga
persatuan Indonesia di masa mendatang, poin kelima ini sebenarnya telah dilaksanakan
dengan adanya kurikulum pendidikan yang mementingkan pembentukan karakter dalam
setiap diri para pelajar di Indonesia.
Negara
Indonesia memang termasuk Negara yang multikultural, artinya terdiri atas
berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang
berbeda-beda. Namun seiring perjalanan waktu, semakin sering terjadi berbagai
kasus dan konflik kekerasan yang mengatasnamakan etnis, agama, ideologi, dan
sebagainya. Kalau konflik-konflik tersebut didiamkan berkepanjangan, maka janganlah
heran kalau beberapa tahun ke depan, Indonesia akan terpecah menjadi berbagai
kelompok masyarakat yang senantiasa bertikai satu sama lain. Kita semua pasti
tak menginginkan hal tersebut terjadi, oleh karena itu kita harus bisa memahami
segala perbedaan yang ada di antara setiap lapisan bangsa indonesia secara bijaksana.
Keberagaman suku bangsa dan budaya masyarakat Indonesia tidak boleh menjadi
alasan untuk suatu pertikaian yang akan berakhir dengan saling menuding,
menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, menyakiti, melukai apalagi sampai menghilangkan
nyawa orang lain. Jika kita mau saling menghargai dan sama-sama berusaha
menerima perbedaan ini sebagai suatu anugerah yang harus kita lindungi dan kita
banggakan, suatu saat nanti kita pasti bisa menjadi bangsa Indonesia yang tetap
harmonis dan damai meski pun terdiri dari beragam suku bangsa. Ingatlah,
pelangi pun terlihat indah karena ia mempunyai susunan warna yang beragam.