Senin, 09 Desember 2013

Cerpen Remaja/@dewinda_f



Hidup, Suatu Ketika…
Hidup. Apalah arti hidup ketika kau tak bisa menikmati kehidupan itu. Hidup. Apalah arti hidup ketika kematian tampak lebih menggiurkan di matamu. Hidup adalah hal yang tak berarti, setidaknya itulah yang dia yakini saat ini.
Tangannya gemetaran, meski aroma anyir mulai tercium olehnya dan disertai darah segar yang terus mengalir dari pergelangan tangan kirinya, ia tetap menggoreskan mata cutter itu pada sebelah tangannya yang lain.
Perih? Apa kau masih memikirkan perih bila rasa sakit di hatimu jauh lebih mengiris daripada segores-dua gores benda tajam di kulitmu? Nyawa? Apa dia masih membutuhkannya? Tidak ada yang peduli ia hidup atau tidak – malah mungkin justru akan banyak yang bersyukur bila ia menghilang.
Ia membiarkan darahnya tetap mengalir. Ujung jari-jari tangannya memucat dan kesemutan tapi ia tak peduli. Benaknya berputar, bila ia mati lantas menghantui sekolah ini, apa ia bisa membalas dendam pada bocah-bocah itu? Menghantui mereka hingga ketakutan, mungkin? Ah, entah kenapa mati terdengar jauh lebih menyenangkan daripada hidup dan menjadi bulan-bulanan para penjilat keparat itu, manusia bertabiat busuk yang berusaha menutupi bau tengik mereka dengan senyuman manis. Menjijikan. Punggungnya perlahan tersandar sepenuhnya ke dinding, tidak mampu menopang beban tubuhnya. Ini dia, sebentar lagi dan ia akan…
Raisa! Berhentilah melakukan hal bodoh ini!”
Seseorang datang. Suaranya familiar. Ia menoleh, berusaha mengenali siapa yang baru saja bicara, tapi pandangan matanya terlalu kabur untuk mengenali apapun kecuali pakaian putih, celana abu-abu, dan dasi yang entah rapi atau tidak. Seseorang menarik lengannya, apa tangan orang itu yang dingin, atau lengannya yang dingin?
Kemudian ia merasa ada ikatan kencang di pergelangan tangannya, orang itu melepaskan cengkeramannya sebelum kembali bicara, “Apa kau masih bisa—”
Terlambat, kegelapan sudah menjemputnya.
♯☻♯
Namanya Raisa. Banyak bicara, kadang cukup ramah –menurutnya–, dan  benci dipuji. Bukannya ia sombong, ia hanya menganggap tak ada sesuatu dalam dirinya yang pantas untuk dipuji. Hasil belajar, prestasi, kemenangan bukan sesuatu yang bisa dipuji, semua orang bisa mencapainya, bila mereka mau, begitu yang diyakini Raisa selama ini. Raisa tidak suka mencari masalah, tapi entah kenapa masalah terus-menerus mencarinya. Mungkin, Aldi termasuk salah satunya.
♯☻♯
 “Hai!”
Ia mengerjap. Langit-langit putih, dinding putih, tirai putih, jendela yang terbuka sedikit. Bau karbol dan antiseptik. Dalam hati Raisa mengumpat, kenapa aku tidak bisa lolos dari tempat ini, lagi?
“Kau kenapa? Apa mereka menjahilimu lagi?” Tanya seseorang yang sekali lagi kembali memergokinya ketika akan meninggalakan dunia ini.
“Jahil? Apakah menampar orang lain, menghinanya setiap waktu, merobek rok seragamnya, dan melemparkan sampah padanya masih termasuk ke dalam kategori jahil? Tsk..” Begitulah yang ada di benak Raisa, tapi mulutnya tetap terkunci rapat, tidak ada sahutan. Aldi, laki-laki yang ada di sampingnya itu beralih menatap Raisa yang seperti biasa, menghindari tatapannya, Raisa tahu bahwa sebentar lagi Aldi akan memulai sebuah kuliah panjang. Raisa sudah hapal, begitu pula dengan Aldi. Setelah keempat kalinya gadis itu ia bawa ke rumah sakit karena alasan yang sama: percobaan bunuh diri, percobaan orang gila, begitulah Aldi menyebutnya.
Raisa mengamati kasa yang menutupi titik-titik luka di sepanjang pergelangan tangannya, mengernyit nyeri ketika rasa sakit yang tajam terasa tiap ia menggerakkan tangan meski sedikit saja. Aldi menangkap perubahan ekspresi Raisa.
 “Tidak bisakah kau berhenti?” Tanya Aldi penuh pengharapan.
Raisa tersenyum miring, “Tidak ada alasan untuk berhenti, dan ada banyak alasan untuk tetap melanjutkannya.”
“Kau melupakanku?”
“Tidak, tapi kau bukan alasan yang cukup,” nada suara Raisa berubah mencela, “Apa gunanya ada satu orang yang peduli bila ada belasan orang lain yang lebih ingin kau lenyap! Lebih ingin kau terpuruk lalu menertawakanmu keras-keras tepat di depan wajahmu? Tidak ada perbedaan yang muncul setelah kau peduli, Aldi! Mereka justru makin mengharapkan hal buruk terjadi padaku!”
Rahang Aldi mengeras, “Berhenti bicara seperti–”
“Itu kenyataan. Kau tidak bisa mengubah kenyataan,” pahit, pahit sekali, “Kau peduli. Kau ada. Kau tahu apa yang selama ini mereka lakukan padaku. Tapi apa perubahan yang kau buat? Adakah? Apa kau berhasil menyuruh mereka berhenti menggunakanku sesuka mereka? Berhenti menghina, berhenti munyiksaku, berhenti menyindir di belakang ku, berhenti bersikap tak tahu malu! Apa kau bisa?” tatapan tajam gadis itu tiba-tiba telah menusuk balik mata Aldi, “Apa kau berhasil meyakinkan mereka bahwa mereka salah? Bahwa memperlakukan seseorang seperti mereka adalah ras terbaik di dunia dan orang lain sepertiku hanya sampah adalah hal yang keliru?”
Aldi tahu persis jawaban untuk setiap pertanyaan Raisa. Tidak. Tidak ada yang berubah. Tatapan mata Raisa yang menusuk dan menyiratkan tantangan membuat Aldi tak nyaman, ia bangkit dan beranjak pergi dari samping tempat tidur Raisa di RS ini.
“Aku peduli dan kau hanya perlu mengingat itu,” kata Aldi sebelum menutup pintu kamar rawat inap Raisa, meninggalkan gadis itu dan lamunan-lamunannya. Raisa tak bereaksi, hanya menatap pintu yang perlahan mengayun tertutup sebelum menggumam, “Dan aku tak pernah memintamu agar peduli padaku, kau tahu? Lebih baik kau berhenti sebelum menyesal.”
♯☻♯
Raisa selalu berharap Aldi tak pernah memergokinya yang tengah sibuk dengan cutter di atap gedung sekolah pada suatu sore. Ia selalu berharap Aldi tak perlu mengenalnya, tak perlu bersikeras mengawasinya sejak lelaki itu menarik paksa bilah tajam cutter dari genggaman tangannya dan membawanya ke rumah sakit untuk pertama kalinya. Mungkin, Aldi hanya ingin Raisa tahu bahwa ia berharga, setidaknya bagi Aldi. Tapi menurut Raisa, hanya berharga bagi Aldi bukan masalah yang lebih penting daripada menghilang dari dunia ini secepatnya.
♯☻♯
Sore ini, setelah ia telah keluar dari rumah sakit, Raisa kembali duduk termenung di atap gedung sekolahnya. Satu per satu kenangan buruknya selama ini kembali terbayang di benaknya. Ketika anak-anak sekolah tahu siapa ibunya yang sebenarnya, ketika mereka mulai menghina dan melampiaskan kebencian mereka kepada dirinya dan ketika mereka melontarkan kata-kata kotor padanya meski itu di hadapan para guru sekali pun. Rasa kebencian itu semakin terasa sesak dan tak terasa air matanya mengalir tanpa bisa ia cegah.
Sayatan pertama. Raisa tahu persis titik mana di pergelangan tangannya yang berdenyut paling kuat.
Bukan salah Raisa kalau ia suka merendah dan mengalah. Bukan. Ia menekankan mata pisau makin dalam, dalam, dalam, berusaha menghilangkan rasa nyeri yang timbul di dadanya ketika kata-kata sialan itu terulang lagi di benaknya. Kau menjijikan! Dasar anak pelacur jalang! Apa kau juga membayar para guru dengan tubuhmu agar mereka mau memberimu nilai yang bagus? Ah, apa Kau juga telah memberikan tubuh kotor ini pada Aldi?
Pening, Raisa tidak pernah merasa merasakan pening sehebat ini sebelumnya. Ia memejamkan mata tepat ketika ia mendengar suara langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa di tangga menuju atap gedung sekolah ini.
“Raisa!”
Seseorang datang. Suaranya familiar. Ia menoleh, berusaha mengenali siapa yang baru saja bicara, tapi pandangan matanya terlalu kabur dan kegelapan menjemputnya lagi. Namun, kali ini Raisa yakin ia tak akan pernah kembali.
♯☻♯

Tidak ada komentar:

Posting Komentar