Hidup, Suatu Ketika…
Hidup. Apalah arti
hidup ketika kau tak bisa menikmati kehidupan itu. Hidup. Apalah arti hidup
ketika kematian tampak lebih menggiurkan di matamu. Hidup adalah hal yang tak berarti,
setidaknya itulah yang dia yakini saat ini.
Tangannya gemetaran,
meski aroma anyir mulai tercium olehnya dan disertai darah segar yang terus mengalir
dari pergelangan tangan kirinya, ia tetap menggoreskan mata cutter itu pada
sebelah tangannya yang lain.
Perih? Apa kau masih
memikirkan perih bila rasa sakit di hatimu jauh lebih mengiris daripada
segores-dua gores benda tajam di kulitmu? Nyawa? Apa dia masih membutuhkannya?
Tidak ada yang peduli ia hidup atau tidak – malah mungkin justru akan banyak
yang bersyukur bila ia menghilang.
Ia membiarkan darahnya
tetap mengalir. Ujung jari-jari tangannya memucat dan kesemutan tapi ia tak
peduli. Benaknya berputar, bila ia mati lantas menghantui sekolah ini, apa ia
bisa membalas dendam pada bocah-bocah itu? Menghantui mereka hingga ketakutan,
mungkin? Ah, entah kenapa mati terdengar jauh lebih menyenangkan daripada hidup
dan menjadi bulan-bulanan para penjilat keparat itu, manusia bertabiat busuk
yang berusaha menutupi bau tengik mereka dengan senyuman manis. Menjijikan. Punggungnya
perlahan tersandar sepenuhnya ke dinding, tidak mampu menopang beban tubuhnya.
Ini dia, sebentar lagi dan ia akan…
“Raisa! Berhentilah melakukan
hal bodoh ini!”
Seseorang datang.
Suaranya familiar. Ia menoleh, berusaha mengenali siapa yang baru saja bicara,
tapi pandangan matanya terlalu kabur untuk mengenali apapun kecuali pakaian
putih, celana abu-abu,
dan dasi yang entah rapi atau tidak. Seseorang menarik lengannya, apa tangan
orang itu yang dingin, atau lengannya yang dingin?
Kemudian ia merasa ada
ikatan kencang di pergelangan tangannya, orang itu melepaskan cengkeramannya
sebelum kembali bicara, “Apa kau masih bisa—”
Terlambat, kegelapan
sudah menjemputnya.
♯☻♯
Namanya Raisa.
Banyak bicara, kadang cukup ramah –menurutnya–, dan benci dipuji. Bukannya ia sombong, ia hanya
menganggap tak ada sesuatu dalam dirinya yang pantas untuk dipuji. Hasil
belajar, prestasi, kemenangan bukan sesuatu yang bisa dipuji, semua orang bisa
mencapainya, bila mereka mau, begitu yang diyakini Raisa selama ini. Raisa
tidak suka mencari masalah, tapi entah kenapa masalah terus-menerus mencarinya.
Mungkin, Aldi termasuk salah satunya.
♯☻♯
“Hai!”
Ia mengerjap.
Langit-langit putih, dinding putih, tirai putih, jendela yang terbuka sedikit.
Bau karbol dan antiseptik. Dalam hati Raisa mengumpat, kenapa aku tidak bisa lolos
dari tempat ini, lagi?
“Kau kenapa? Apa
mereka menjahilimu lagi?” Tanya seseorang yang sekali lagi kembali memergokinya
ketika akan meninggalakan dunia ini.
“Jahil? Apakah menampar orang lain, menghinanya setiap waktu, merobek
rok seragamnya, dan melemparkan sampah padanya masih termasuk ke dalam kategori
jahil? Tsk..” Begitulah yang ada di benak Raisa, tapi mulutnya tetap
terkunci rapat, tidak ada sahutan. Aldi, laki-laki yang ada di sampingnya itu beralih
menatap Raisa yang seperti biasa, menghindari tatapannya, Raisa tahu bahwa
sebentar lagi Aldi akan memulai sebuah kuliah panjang. Raisa sudah hapal,
begitu pula dengan Aldi. Setelah keempat kalinya gadis itu ia bawa ke rumah
sakit karena alasan yang sama: percobaan bunuh diri, percobaan orang gila,
begitulah Aldi menyebutnya.
Raisa mengamati kasa
yang menutupi titik-titik luka di sepanjang pergelangan tangannya, mengernyit
nyeri ketika rasa sakit yang tajam terasa tiap ia menggerakkan tangan meski
sedikit saja. Aldi menangkap perubahan ekspresi Raisa.
“Tidak bisakah kau berhenti?” Tanya Aldi penuh
pengharapan.
Raisa tersenyum
miring, “Tidak ada alasan untuk berhenti, dan ada banyak alasan untuk tetap
melanjutkannya.”
“Kau melupakanku?”
“Tidak, tapi kau
bukan alasan yang cukup,” nada suara Raisa berubah mencela, “Apa gunanya ada
satu orang yang peduli bila ada belasan orang lain yang lebih ingin kau lenyap!
Lebih ingin kau terpuruk lalu menertawakanmu keras-keras tepat di depan
wajahmu? Tidak ada perbedaan yang muncul setelah kau peduli, Aldi! Mereka
justru makin mengharapkan hal buruk terjadi padaku!”
Rahang Aldi
mengeras, “Berhenti bicara seperti–”
“Itu kenyataan. Kau
tidak bisa mengubah kenyataan,” pahit, pahit sekali, “Kau peduli. Kau ada. Kau
tahu apa yang selama ini mereka lakukan padaku. Tapi apa perubahan yang kau
buat? Adakah? Apa kau berhasil menyuruh mereka berhenti menggunakanku sesuka
mereka? Berhenti menghina, berhenti munyiksaku, berhenti menyindir di belakang
ku, berhenti bersikap tak tahu malu! Apa kau bisa?” tatapan tajam gadis itu
tiba-tiba telah menusuk balik mata Aldi, “Apa kau berhasil meyakinkan mereka
bahwa mereka salah? Bahwa memperlakukan seseorang seperti mereka adalah ras
terbaik di dunia dan orang lain sepertiku hanya sampah adalah hal yang keliru?”
Aldi tahu persis
jawaban untuk setiap pertanyaan Raisa. Tidak. Tidak ada yang berubah. Tatapan
mata Raisa yang menusuk dan menyiratkan tantangan membuat Aldi tak nyaman, ia
bangkit dan beranjak pergi dari samping tempat tidur Raisa di RS ini.
“Aku peduli dan kau
hanya perlu mengingat itu,” kata Aldi sebelum menutup pintu kamar rawat inap Raisa,
meninggalkan gadis itu dan lamunan-lamunannya. Raisa tak bereaksi, hanya
menatap pintu yang perlahan mengayun tertutup sebelum menggumam, “Dan aku tak
pernah memintamu agar peduli padaku, kau tahu? Lebih baik kau berhenti sebelum
menyesal.”
♯☻♯
Raisa selalu berharap Aldi tak pernah
memergokinya yang tengah sibuk dengan cutter di atap gedung sekolah
pada suatu sore. Ia selalu berharap Aldi tak perlu mengenalnya, tak perlu
bersikeras mengawasinya sejak lelaki itu menarik paksa bilah tajam cutter dari
genggaman tangannya dan membawanya ke rumah sakit untuk pertama kalinya. Mungkin,
Aldi hanya ingin Raisa tahu bahwa ia berharga, setidaknya bagi Aldi. Tapi menurut
Raisa, hanya berharga bagi Aldi bukan masalah yang lebih penting daripada
menghilang dari dunia ini secepatnya.
♯☻♯
Sore ini, setelah ia
telah keluar dari rumah sakit, Raisa kembali duduk termenung di atap gedung
sekolahnya. Satu per satu kenangan buruknya selama ini kembali terbayang di
benaknya. Ketika anak-anak sekolah tahu siapa ibunya yang sebenarnya, ketika
mereka mulai menghina dan melampiaskan kebencian mereka kepada dirinya dan
ketika mereka melontarkan kata-kata kotor padanya meski itu di hadapan para
guru sekali pun. Rasa kebencian itu semakin terasa sesak dan tak terasa air
matanya mengalir tanpa bisa ia cegah.
Sayatan pertama. Raisa
tahu persis titik mana di pergelangan tangannya yang berdenyut paling kuat.
Bukan salah Raisa
kalau ia suka merendah dan mengalah. Bukan. Ia menekankan mata pisau makin
dalam, dalam, dalam, berusaha menghilangkan rasa nyeri yang timbul di dadanya
ketika kata-kata sialan itu terulang lagi di benaknya. Kau menjijikan! Dasar anak
pelacur jalang! Apa kau juga membayar para guru dengan tubuhmu agar mereka mau
memberimu nilai yang bagus? Ah, apa Kau juga telah memberikan tubuh kotor ini
pada Aldi?
Pening, Raisa tidak
pernah merasa merasakan pening sehebat ini sebelumnya. Ia memejamkan mata tepat
ketika ia mendengar suara langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa di tangga menuju atap gedung sekolah ini.
“Raisa!”
Seseorang datang. Suaranya familiar.
Ia menoleh, berusaha mengenali siapa yang baru saja bicara, tapi pandangan
matanya terlalu kabur dan kegelapan menjemputnya lagi. Namun, kali ini Raisa
yakin ia tak akan pernah kembali.
♯☻♯
Tidak ada komentar:
Posting Komentar